Gambuh Lanang: Rekonstruksi Kesenian Klasik

Pementasan kedua Rekonstruksi Kesenian Klasik Gambuh Lanang

Setelah beberapa kali saya bercerita tentang Tari Gambuh, kali ini saya akan bercerita tentang rekonstruksi tarian klasik ini. Seperti yang sempat saya ceritakan pada postingan terdahulu, pada awalnya tarian gambuh ditarikan sepenuhnya oleh penari laki-laki, namun kini Gambuh telah ditarikan oleh perempuan, bukan saja pada peran-peran perempuan seperti dayang-dayang dan puteri, tetapi juga beberapa peran pria seperti Panji dan Rangga. Beberapa bulan yang lalu, sanggar Tri Pusaka Sakti melakukan rekonstruksi kesenian klasik ini dengan membangkitkan kembali Gambuh Lanang, dimana semua penarinya adalah laki-laki.

Rekonstruksi kesenian klasik Gambuh dengan semua penari laki-laki pada awalnya digagas untuk mengingat kembali keberadaan Gambuh seperti pada zaman dahulu. Menurut penuturan pembina sanggar yang sekaligus maestro Tari Bali, Pak Made Djimat, Beliau mengingat bahwa semasa kecil Beliau pernah menonton tarian Gambuh yang ditarikan oleh lelaki, cerita ini juga diamini oleh seorang pemahat kenamaan di Batuan, Dewa Made Madra yang mengingat salah seorang anggota keluarganya pernah menjadi penari Gambuh Lanang (lelaki). Dari kenangan inilah kemudian dicetuskan ide untuk membangkitkan kembali Gambuh Lanang.

Tantangan Rekonstruksi Kesenian Klasik Gambuh Lanang

Perbedaan Gambuh Lanang dengan Gambuh yang bisa dipentaskan hanya terletak pada penari peran perempuan yang ditarikan oleh lelaki, sementara semua peran lelaki lainnya tetap diperankan sebagaimana biasa oleh para penari laki-laki. Karena itu pembuatan Gambuh Lanang ini bisa dikatakan cukup menantang. Bagaimana tidak, penari laki-laki yang mendapatkan peran perempuan seperti Kakan-Kakan (dayang), Condong (kepala dayang) serta Putri Raja harus belajar dari nol untuk menarikan peranan perempuan. Gerak dasar yang amat jauh berbeda dari keseharian menari dengan gerakan lelaki saja sudah menjadi tantangan, ditambah lagi dengan gerakan-gerakan dasar tari Gambuh yang amat rumit menambah kesulitan dalam mempersiapkan pertunjukkan Gambuh Lanang.

Karena merupakan tari yang amat tua umurnya, gerakan-gerakan Tari Gambuh, khususnya bagi pemeran tokoh perempuan memiliki perbedaan yang sangat kentara dibandingkan dengan gerakan-gerakan tarian wanita yang biasa ditemui seperti Legong, apalagi dibandingkan tarian kreasi baru. Komentar yang banyak muncul dari para penari adalah gerakan yang “segol” atau ganjil. Gerakan-gerakan ganjil ini tidak ditemukan pada tarian-tarian yang lebih muda. Gerakan “Nayog” yang dilakukan oleh Kakan-kakan misalnya, ada gerakan “ngembat” dilanjutkan dengan gerakan mendorong ke depan dengan pusat gerakan pada sendi bahu, sangat susah untuk dipelajari oleh pemula karena keganjilan geraknya.

Penari Gambuh Lanang berpose sebelum pentas bersama pembina tari

Selain gerakan yang rumit, durasi menari yang cukup lama juga menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh penari tokoh perempuan. Durasi yang lama ini ditambah dengan tempo tarian yang sangat dinamis membutuhkan keahlian dalam mengatur tenaga dan nafas. Gerak dasar yang ganjil, koreografi yang sangat rumit, dan durasi yang panjang disertai tempo yang amat dinamis, lengkaplah tantangan yang harus ditaklukan selama melakukan rekonstruksi kesenian klasik Gambuh Lanang ini.

Pementasan Gambuh Lanang

Setelah berlatih hampir sebulan lamanya, tibalah waktu yang sangat mendebarkan bagi semua yang terlibat dalam rekonstruksi kesenian klasik Gambuh Lanang ini. Pementasan perdana dilakukan pada tanggal 25 Desember 2021, pada hari Natal. Sebenarnya momen yang diambil adalah Hari Tumpek Krulut, hari selamatan pada kesenian, terutama gamelan dan seni pertunjukkan lainnya, ternyata hari tersebut bertepatan pada hari Natal. Sejak pukul 2 siang, penari telah sibuk berhias diselingi dengan candaan para pemeran tokoh perempuan yang tiba-tiba menjadi cantik setelah memakai kostum dan hiasan kepalanya.

Pementasan dimulai sekitar pukul setengah empat sore dengan mengambil lakon “Kesandung Lasem”. Awal pementasan dibuka oleh peran Condong yang mempersiapkan kedatangan Putri Rangkesari bersama para dayang. Delapan dayang serta seorang Condong dan Putri menari dengan sangat baik pada pementasan tersebut. Setelah peranan tokoh perempuan, tarian dilanjutkan dengan tokoh-tokoh lelaki hingga ditutup dengan adegan perang di Widasari. Secara keseluruhan, Gambuh Lanang ini bisa dibilang cukup suskes pada pemntasan perdananya.

Mengambil lakon yang sama, pementasan kedua Gambuh lanang dilakukan di Pura Dalem Alas Arum Desa Batuan. Pementasan ini dilaksanakan bertepatan dengan upacara piodalan di Pura Dalem. Pementasan kedua ini juga sukses membuat menarik perhatian penonton. Pentas ketiga dilaksanakan pada Hari Raya Saraswati di Pura Desa Batuan yang juga tidak kalah bagusnya dengan kedua pementasan sebelumnya. Sanggar Tri Pusaka Sakti sukses melakukan rekonstruksi pada kesenian klasik Gambuh Lanang. Bagi kalian yang kepo melihat tarian lengkapnya, bisa lihat rekamannya di video ini ya 🙂 selamat menonton.

Tinggalkan komentar