Mengheningkan Cipta di Monumen Perjuangan Tanah Aron

Monumen Perjuangan Tanah Aron

Halo Sobat Urvasu, tidak terasa kita sudah memasuki tahun yang baru. Bagaimana kalian merayakan pergantian tahun? Kalau saya menyempatkan diri berlibur sehari di Kabupaten Karangasem. Saya menginap semalam di sebuah penginapan yang ada di dekat sebuah istana air milik kerajaan Karangasem, yakni Taman Tirta Gangga. Sangat menyenangkan sekali dapat melihat indahnya Taman Tirta Gangga dari teras kamar tempat saya menginap. Selain mengunjungi Tirta Gangga, saya juga mengunjungi Balai Warak di dekat Taman Ujung, berkeliling di Sibetan, berkunjung ke rumah salah satu penerima Beasiswa KIDS dari YKIP, dan yang menurut saya highlight dari kegiatan saya selama di Karangasem adalah mengunjungi Monumen Perjuangan Tanah Aron.

Awalnya, saya tidak merencanakan untuk mengunjungi Monumen Perjuangan Tanah Aron ini. Saya melihat plang petunjuk ke monumen ini saat saya tersesat karena mengikuti petunjuk Gmap saat janjian dengan siswa asuh YKIP tersebut. Monumen ini terletak di Banjar Tanah Aron, Desa Buana Giri, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Karena penasaran, saya mencari informasi lebih lanjut mengenai apa yang terjadi di Tanah Aron, hingga sebuah monumen didirikan di tempat ini.

Pendirian Monumen Perjuangan Tanah Aron: Mengenang Perang Revolusi

Monumen Perjuangan Tanah Aron didirikan untuk mengenang perjuangan para pahlawan revolusi yang dipimpin oleh Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai. Pasukan I Gusti Ngurah Rai berperang melawan tentara NICA yang berusaha merebut wilayah Indonesia untuk kembali dikolonisasi meskipun Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Pasukan pimpinan I Gusti Nurah Rai ini dikenal dengan nama Ciung Wanara, sebuah pasukan yang terkenal akan kegigihannya dalam berjuang serte semangat mereka yang menggebu-gebu mempertahankan kemerdekaan RI.

Pada tanggal 7 Juli 1946, sebuah pertempuran dahsyat terjadi di Tanah Aron antara pasukan Ciung Wanara dengan pasukan NICA. Perang ini adalah bagian dari strategi I Gusti Ngurah Rai untuk memecah pasukan NICA yang berjaga di Pelabuhan Gilimanuk. Saat itu, pasukan pejuang dari Bali meminta bantuan senjata dari Jawa, namun NICA menjaga Pelabuhan Gilimanuk degan sangat ketat. I Gusti Ngurah Rai berharap dengan long march ini, pasukan NICA akan mengikuti Ciung Wanara dan melemahkan penjagaan mereka di Gilimanuk. Siasat ini berhasil menarik pasukan NICA mengikuti mereka ke arah timur, namun ternyata penjagaan di Gilimanuk tidak dikendorkan.

Rute perjalanan pejuang Ciung Wanara

Selama perjalanan menuju Karangasem, pasukan NICA terus menguntit dan sempat terjadi kontak senjata di daerah Bangli. Meskipun demikian, Pasukan Ciung Wanara berhasil membawa pasukan NICA ini ke Tanah Aron. Pada tanggal 7 Juli 1946, pecah pertempuran Tanah Aron yang mengakibatkan tewasnya 82 orang anggota pasukan NICA. Menurut pelaku sejarah, tidak ada seorang pun pasukan Ciung Wanara yang gugur, namun informasi lainnya menyatakan satu anggota pasukan bernama I Soplog gugur dalam pertempuran ini. I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya kemudian menyingkir ke puncak Gunung Agung sembari meminta penduduk setempat untuk membuat orang-orangan sawah dan ditempatkan di area pertempuran. Setelah pasukan Ciung Wanara sampai di Puncak Gunung Agung, benar saja bala bantuan NICA datang ke Tanah Aron dan menembaki semua orang -orangan sawah tersebut. Siasat pasukan Ciung Wanara berhasil mengecoh NICA sekaligus menguras persediaan peluru mereka. Untuk memperingati kemenangan ini, pemerintah mendirikan sebuah monumen yang dikenal dengan Monumen Perjuangan Tanah Aron.

Menuju Monumen Perjuangan Tahan Aron

Monumen Perjuangan Tanah Aron terletak di Kecamatan Bebandem, cukup jauh dari Tirta Gangga. Dari pertigaan di Pande Besi, saya mengambil jalan ke kanan, sesuai dengan petunjuk yang ada. Awalnya saya kira perjalanan ini tidak akan lama, namun nyatanya memakan waktu hampir 40 menit. Jalan menuju monumen ini bisa dikatakan cukup bagus, namun di pertengahan harus ekstra hati-hati karena jalannya rusak. Setelah melewati jalan rusak ini, jalan kembali mulus, namu tanjakan menuntut kita untuk tetap waspada.

Di sepanjang jalan, saya menyaksikan perubahan bentang alam yang sangat ekstrim. Hamparan semak nan hijau memanjakan mata sepanjang jalan mulus paruh pertama. Setelah jalan mulai rusak, saya melihat area Galian C. Pasir, koral, serta batu-batu besar ditambang dengan peralatan berat dan diangkut dengan truk-truk besar. Jalan berlubang parah karena dilewati truk-truk besar sepanjang hari. Pasir serta koral juga bertebaran di tengah jalan. Beberapa kali saya hampir jatuh, namun saya bersyukur saya masih bisa mengendalikan motor supra saya. Saya bergidik ngeri membayangkan beberapa tahun yang lalu, wilayah itu rusak parah karena letusan Gunung Agung yang begitu dahsyat selama beberapa bulan. Kini hasil letusan tersebut dipanen untuk menjadi bahan bangunan. Meskipun letusan gunung itu kini mebawa berkah bagi orang-orang di sekitarnya, tetap saja saya merasa kengerian yang begitu dalam saat melewati wilayah tersebut.

Setelah jalan kembali mulus, di kanan dan kiri kita kembali terlihat hamparan hijaunya pepohonan. Sayangnya, saya tidak dapat menikmati sepenuhnya. Konsentrasi saya ada pada jalan menanjak yang sangat menantang. Begitu panjang tanjakannya dan penuh dengan kelokan. Monumen perjuangan Tanah Aron terletak di ujung jalan ini.

Memanjatkan Doa di Monumen Perjuangan Tanah Aron

Saya merasa cukup kecewa karena setelah perjalanan panjang yang begitu menguras tenaga dan pikiran, pintu monumen ini tertutup. Hampir saja saya balik kanan dan memutuskan untuk pulang ke Denpasar saja. Ternyata saat saya perhatikan, pintunya tidak digembok. Sayapun masuk ke dalam area monumen.

Di sebelah kiri, terdapat sebuah balai terbuka. Dikirinya, terdapat tembok pembatas yang dihiasi dengan tiga relief bertema perjuangan. Relief paling kiri menunjukkan tahap-tahap perjuangan nasional yang dimulai dari sumpah pemuda hingga proklamasi. Relief di tengah memberikan kita informasi mengenai rute yang ditempuh oleh Pasukan Ciung Wanara, dari Margarana menuju Tanah Aron dan sebaliknya. Perjalanan ini sangat panjang dan mengelilingi pegunungan-pegunungan di tengah-tengah pulau Bali. Relief ketiga merupakan salinan surat dari I Gusti Ngurah Rai. Pusat monumen ini adalah sebuah tugu dengan patung I Gusti Ngurah Rai pada puncaknya. Di dasar tugu, terdapat beberapa patung pejuang serta nama-nama pejuang dari Karangasem yang gugur saat menunaikan bakti pada Ibu Pertiwi.

Sesuai dengan tujuan saya kesana, di depan monumen saya menundukkan kepala serta memanjatkan doa untuk semua pahlawan yang telah mengorbankan jiwa dan raganya untuk kemerdekaan Indonesia. Selain berdoa kepada Tuhan agar arwah para pahlawan diterima di sisi-Nya, saya ucapkan terima kasih atas kesempatan yang saya raih saat ini. Menempuh pendidikan, mendapatkan pekerjaan, serta hidup dengan bebas yang saya nikmati saat ini, telah ditukarkan dengan darah dan air mata, serta nyawa oleh para pahlawan yang telah mendahului kita semua. Tidak terasa air mata saya meleleh saat memanjatkan doa ini. Perjuangan merekalah yang membuat kita semua dapat menikmati masa sekarang dengan lebih baik. Terlebih mengingat bagaimana beratnya perjalanan yang saya tempuh menuju monumen ini, saya merasa tidak ada apa-apanya dibandingkan perjalanan ratusan kilometer menyusup ke dalam hutan yang ditempuh para pejuang saat itu.

Setelah berdoa dan menenangkan diri, saya menyempatkan diri untuk melihat pemandangan sekeliling monumen. Gunung serta perbukitan yang tampak di kejauhan memberikan ketenangan dan semangat baru untuk kembali ke Denpasar. Setelah saya beristirahat sejenak, saya kembali ke Denpasar. Selama perjalanan, saya masih mersakan keharuan mendalam setelah berdoa di Monumen Perjuangan Tanah Aron. Kunjungan ke Tanah Aron ini telah membawa saya menyusuri tiga tempat pertempuran selama revolusi kemerdekaan: Margarana, Penglipuran, dan Tanah Aron.

Terus terang, menuliskan cerita ini kembali membawa keharuan dalam benak saya. Rasa yang sama seperti saat berdoa disana kembali saya rasakan. Setelah ini, saya sangat ingin menyampaikan hal yang begitu sering disampaikan oleh para orang tua kita: jangan sampai perjuangan para pahlawan jadi sia-sia. Kata-kata yang awalnya saya tidak begitu mengerti maknanya, namun setelah berkunjung ke Tanah Aron, melihat monumennya secara langsung, dan melihat peta perjuangan, saya mulai mengerti arti kata-kata tersebut. Mari kita semua berjuang mengisi kebebasan yang telah ditebus dengan pengorbanan nyawa para pahlawan.

Rejang Sutri Batuan: Tarian Sakral di Bulan Keenam

Penari-penari Rejang Sutri Batuan
Rejang Sutri Batuan

Wah sudah masuk Bulan Desember. Bulan ini menjadi bulan terakhir di Kalender Masehi, namun tidak demikian dengan penanggalan Bali. Bulan ini memasuki bulan yang disebut dengan Sasih Kenem (ke enam), tapi karena tahun baru saka di Bali mulainya di Sasih Kedasa (kesepuluh), maka sebenarnya Bulan Desember masuk ke bulan kesembilan, tapi namanya Kenem. Bingung? Biar gak bingung lihat penjelasannya disini ya.

Bagi orang Bali, Sasih Kenem ini adalah bulan keramat, dimana dipercaya bahwa keluatan alam berada dalam kondisi yang tidak stabil sehingga mempengaruhi manusia. Manifestasi dari kekuatan alam yang sedang gonjang-ganjing ini adalah para buta kala (roh-roh yang berasal dari alam bawah) yang mulai mengganggu manusia. Kekuatan buta kala ini menebabkan terjadinya wabah dimana-mana. Manusia cenderung menjadi lemah badannya dan menjadi sakit-sakitan.di beberpa wilayah, dipercaya kekuatan dari buta kala ini dikendalikan oleh Ratu Gede Mecaling yang berasal dari Nusa Penida.

Untuk menetralisir kekuatan buta kala dibawah pimpinan Ratu Gede Mecaling ini, di penghujung Sasih Kenem, yaitu saat bulan mati, dilaksanakan upacara Nangluk Merana. Upacara ini bertujuan untuk menetralisir kekuatan alam dan buta kala agar tidak mengganggu manusia. Setelah upacara ini dilaksanakan di pantai, berbagai perwujudan dewa sebagai pelindung desa akan melaksanakan upacara yang disebut denga Ngunya, yakni berkeliling desa. Selain itu, ada berbagai bentuk kesenian sakral yang bertujuan menetralisir kekuatan itu mulai dipentaskan. Salah satu yang sangat menarik bagi saya adalah Rejang Sutri Batuan.

Pementasan Rejang Sutri Batuan

Rejang Sutri Batuan dipentaskan mulai Sasih Kenem, namun pementasannya belum diakukan setiap hari. Pementasan hanya dilakukan pada hari-hari tertentu saja. Setelah upacara Nangluk Merana, dilaksanakan pementasan Rejang Sutri setiap petang, dimulai pada sekitar pukul tujuh malam. Sekali pentas, sekitar 30 hingga 50 perempuan akan menari di wantilan depan Pura Desa Batuan. Dipercaya tarian ini memberikan perlindungan kepada Desa Batuan dari wabah penyakit. Kecantikan para penari, gerakan yang gemulai dan gamelan yang mendayu-dayu mengalihkan perhatian para buta kala, sehingga mereka lupa untuk menyebarkan wabah. Dengan itu, desa akan terhindar dari penyakit yang dibawa oleh para buta kala tersebut.

Pementasan Rejang Sutri dimulai dengan persembahyangan bersama. Setelah sembahyang, para penari akan membuat barisan 5 berbanjar. Tarian ini diiringi dengan gamelan yang medayu-dayu. Selayaknya rejang, tarian ini memiliki gerakan yang sederhana, sangat lamban dan berulang. Saat penari di barisan terdepan mencapai ujung panggung, mereka akan bertimpuh dan melakukan gerakan menyembah ke arah altar yang ada di depan panggung, setelah itu barisan pertama akan bubar. Tarian dilanjutkan oleh barisan kedua dan seterusnya hingga sampai pada barisan terakhir.

Ibu Sekar (kain biru) pernah memimpin seribu orang penari Rejang Sutri Batuan

Selain gerakannya yang unik, ada hal lain yang selalu dinantikan. Pada saat hari-hari biasa penari rejang menari dengan pakaian adat sederhana yakni dengan kebaya dan kamen (jarik), disebut dengan Rejang Bogolan. Lain hanya dengan rerahinan (hari-hari yang dianggap suci) seperti purnama, bulan mati, atau hari suci lainnya, penari-penari Rejang ini akan menggunakan kostum terbaik mereka. Kostum Rejang Sutri Batuan tidaklah seragam. Penari bisa menggunakan pakaian yang mereka miliki, warna dan motifnya pun tidak ditentukan. Yang pasti mereka harus menggunakan kain yang dipakai memanjang ke belakang dengan ujung kain melewati kedua kaki (melancingan). Selain itu mereka tidak menggunakan baju, tetapi menggunakan sejenis stagen yang disebut sabuk prada. Hiasan rambutnyapun tidak disamaratakan, namun harus mengikuti pakem tradisi. Bagi yang sudah menikah harus menggunakan pusung tagel (sanggul yang ujungnya diselipkan di pangkal sanggul), sementara yang belum menikah, sisa rambut setelah disanggul dibiarkan terurai (pusung gonjer). Hiasan rambut menggunakan bunga emas dan bunga segar. Cantiknya para penari dengan kostum berarna-warni, tarian yang lemah gemulai dan tempo yang lambat menjadikan tarian ini sangat memukau.

Selain itu, yang juga ditunggu saat rerahinan adalah anak-anak yang ikut menari Rejang Sutri Batuan. Kebayang kan anak-anak yang lucu-lucu ini ikut berhias menggunakan pakaian warna-warni dan hiasan bunga emas di kepala mereka ikut menari. Mereka biasanya mulai di barisan kedua, mengikuti penari di barisan terdepan. Anak-anak dari usia sekitar empat tahun sudah mulai menari rejang. Adalah satu kebanggan tersendiri bagi anak-anak ini saat mereka bisa menari Rejang Sutri Batuan pada saat rerahinan. Jumlah anak yang ikut menari bisa sampai 20 anak, bahkan lebih.

Ritual Rejang Sutri Batuan

Ritual pementasan Rejang Sutri Batuan sehari- hari biasanya dimulai dengan persembahyangan bersama sebelum menari. Lain halnya dengan ritual pada saat rerahinan. Sesajen yang digunakan lebih besar daripada ritual rejang sehari-hari. Yang paling khas adalah jaje kukus, yakni jajan yang dibuat dari beras ketan yang dikukus dan diisi parutan kelapa dan gula merah (unti) diatasnya. Sesajen ini diletakkan dia atas altar di ujung timur lokasi pentas. Pemangku (pemuka agama) akan melakukan ritual dan diikuti persembahyangan bersama.

Saat penari pertama sampai di ujung pentas dan melakukan sembah, mereka akan mendapatkan satu porsi jaje kukus. Inilah yang ditunggu-tunggu oleh para penari. Dipercaya bahwa jaje kukus yang telah dipersembahkan kepada dewa akan memberikan perlindungan kepada penerimanya. Oh ya, saat penari barisan pertama mengakhiri tariannya, anak-anak di barisan kedua dan seterusnya juga menyelesaikan tarian mereka. Anak-anak ini juga akan mendapatkan seporsi jaje kukus. Tarian dilanjutkan oleh penari dewasa di barisan selanjutnya. Pada akhir pementasan, semua penari akan mendapatkan seporsi jaje kukus. Jika ada jaje kukus tersisa, akan dibagikan kepada para penabuh gamelan. Jika masih ada sisa juga, akan dibagikan kepada penonton, terutama anak-anak dan orang tua. Biasanya ada sesi rebutan jaje kukus di kalangan penonton anak-anak. Lucu sekali melihat anak-anak ini berebut 😀

Khusus untuk anak-anak yang menari, mereka mendapatkan hadiah spesial lho. Karena mereka sudah berusaha ikut melestarikan tarian sakral ini, mereka mendapatkan sepaket buku dan alat tulis dari penyenggara. Biasanya terdiri dari satu atau dua buah buku tulis, beberapa pensil atau pulpen, penghapus dan rautan pensil. Salah satu anak kenalan saya bahkan bisa memenuhi kebutuhan alat tulisnya untuk satu semester karena saking rajinnya ikut ngayah menari Rejang 🙂

Tarian rejang ini akan berakhir sehari setelah Hari Raya Nyepi, sekitar Bulan Maret. Jadi sekitar tiga bulan, perempuan-perempuan di Batuan akan menari secara bergiliran setiap malam. Tidak pernah sekalipun absen lho, karena dipercaya jika Rejang tidak ditarikan sehari saja, maka wabah akan menyerang desa. Bahkan saat pandemi, rejang tetap ditarikan, namun dengan jumlah penari terbatas, dan mematuhi protokol kesehatan.

Sebagian penari Rejang Sutri Batuan saat acara Rejang Seribu

Tahun lalu, ada pertunjukan Rejang Seribu, dimana seribu perempuan menari Rejang Sutri Batuan. Acara ini dilakukan untuk memperingati seribu tahun ditulisnya Prasasti Desa Batuan. Senang sekali saya berkesempatan nonton Rejang kolosal tersebut. Saat itu, Rejang Seribu ini dipimpin oleh Ibu Sekar, seorang penari kenamaan dari Batuan. Jalanan di depan pura desa hingga banjar tengah ditutup untuk kegiatan ini. Pokoknya seru sekali melihat banyak penari rejang menari bersama-sama. Sayangnya saya tidak dapat menonton dari depan, saya hanya bisa menonton dari samping, jadi tidak bisa memfoto crowd-nya.

Nah jika teman-teman kebetulan ada di bali dari Bulan Desember hingga Maret, jangan lewatkan untuk menonton tarian sakral ini di Wantilan Pura Desa Batuan. Jangan lupa untuk menggunakan pakaian adat lengkap ya saat menonton. Boleh juga ajak-ajak saya kalau mau nonton, siapa tahu nanti kita kebagian jaje kukus, hehehe.

5 Tempat Wisata di Karangasem yang Wajib Dikunjungi

Karangasem memang selalu menarik hati. Ada banyak hal yang ditawarkan kabupaten di ujung timur Pulau Bali ini. Mulai dari desa-desa tua yang mengajak kita kembali ke masa lalu melalui berbagai ritus dan tradisi yang tetap dipertahankan keasliannya, lalu peninggalan Kerajaan Karangasem yang unik tidak ada bandingannya, hingga tempat-tempat unik yang tidak bisa ditemukan di tempat lain. Kali ini saya akan mengajak Sobat Urasu untuk mengunjungi 5 tempat wisata di Karangasem yang wajib dikunjungi saat menghabiskan waktu liburan disana.

1. Desa Tenganan

Bangunan dan kerbau di Desa Tenganan
Bangunan kuno dan kerbau di Desa Tenganan

Tenganan adalah sebuah desa tua dengan tradisinya yang sangat berbeda dengan desa-desa yang ada di bali bagian barat ataupun selatan. Desa ini tidak merayakan hari Raya Galungan, dan mereka memiliki kalender hari raya yang berbeda dari kalender Bali yang berlaku umum. Sebenarnya ada dua desa yang meyandang nama Tenganan, Tenganan Pegringsingan dan Tenganan Dauh Tukad. Kedua desa ini memiliki keunikan tersendiri.

Saat berkunjung ke Tenganan Pegringsingan, bersiaplah terpana dengan berbagai kegiatan budaya yang ada di desa ini. Mulai dari para pelukis daun lontar yang ada disini, pembuatan kain dobel ikat yang hanya bisa ditemui di dua tempat di dunia, hingga kegiatan perang pandan, dimana para lelaki melakukan perang dengan menggunakan daun pandan berduri. Saat tidak ada kegiatan khusus, kita masih bisa melihat bangunan-bangunan unik milik warga desa. Jangan lupa melihat kerbau-kerbau yang dibiarkan lepas berkeliaran di sepanjang jalan desa. Oh ya, ada beberapa ahli menulis aksara Bali yang tinggal di desa ini lho.

Untuk menikmati keindahan desa ini, pengunjung tidak dikenakan biaya masuk, hanya berdonasi seikhlasnya saja.

2. Puri Karangasem

Bangunan di Puri Agung Karangasem
Bangunan di Puri Karangasem

Puri Karangasem pada mulanya adalah istana kediaman Raja Karangasem. Bangunan yang sangat megah ini memiliki berbagai keunikan arsitektur. Perpaduan antara gaya bangunan barat, China, dan Bali akan membuat siapapun yang memandangnya berdecak kagum. Selain itu, Istana Karangasem ini memiliki bangunan yang ada di tengah-tengah kolam seolah-olah mengambang.

Pintu gerbang Puri Karangasem ini juga sangat unik, tidak akan dapat ditemui di daerah lain. Untuk masuk ke wilayah Puri Karangasem, pengunjung wajib memebli tiket yang bisa didapatkan di counter tiket setelah pintu gerbang kedua.

3. Tempat wisata di Karangasem: Taman Sukasada Ujung

Kolam yang begitu luas di Taman Ujung

Taman Sukasada Ujung atau yang lebih dikenal dengan nama Taman Ujung adalah sebuah taman dengan tiga kolam yang sangat luas. Istana air yang cantik ini dibangun pada awal abad ke 20, merupakan pengembangan dari pembangunan kolam yang dikenal dengan nama Kolam Dirah.

Selain tiga kolam tersebut, ada beberapa bangunan unik di sekitar kolam yang bisa dimanfaatkan untuk beristirahat disana. Bangunan utamanya ada di tengah-tengah taman yang disebut dengan Bale Gili. Di bale Gili terdapat foto-foto raja dan keluarga Raja Karangasem, juga ada sebuah kamar tidur yang dulunya merupakan kamar raja. Kamar ini sekarang tertutup untuk umum.

Selain itu di sebelah barat ada sebuah bangunan yang sudah runtuh sebagian, namun masih terlihat cantik. Konon dahulu raja mengamati kapal-kapal yang berlayar di Selat Bali melalui bangunan ini. Seperti Puri Karangasem, Bangunan ini sangat kentara percampuran budayanya. Dari budaya Bali, Cina, dan Eropa berpadu dengan sangat harmonis di tempat ini.

4. Tirta Gangga

Pemandangan di Tirta Gangga

Tempat wisata yang tidak kalah menarik untuk dikunjungi di Karangasem adalah Tirta Gangga. Tempat ini juga merupakan istana peristirahatan dari Raja Karangasem. Konsepnya mirip dengan Taman Ujung, sebuah kompleks taman dengan banyak kolam dan sebuah bangunan inti. Tirta Gangga terkenal dengan air mancur bertingkatnya yang sangat ikonik.

Selain kolam-kolam yang cantik, Tirta Gangga juga dihiasi dengan puluhan patung-patung cantik. Patung-patung ini menghiasi pinggiran kolam-kolam disana. Selain patung-patung cantik, yang tidak kalah menarik adalah ikan-ikan koi dalam ukuran besar yang ada di dalam kolam-kolam tersebut. Kita bisa memberi makan ikan-ikan itu lho. Cukup membeli makanan ikan seharga Rp. 5.000 dan kita bisa melihat ikan-ikan cantik itu berebutan makanan.

5. Pura Lempuyang

Gerbang Surga di Lempuyang. Sumber: Villa Gita Bali

Pura Lempuyang adalah sebuah pura yang sangat kuno. Pura ini juga merupakan salah satu pura terpenting yang ada di Bali. Tentang pura ini, saya sudah pernah bercerita tentang pengalaman saya bersembahyang disana.

Yang sangat menarik dari Pura Lempuyang bagi pelancong justru bukan tantangan beratnya untuk naik ke Lempuyang Luhur, melainkan sebuah candi bentar yang terletak di pura Penataran Lepuyang. Gerbang ini dikenal dengan nama “Heaven’s Gate”, dimana saat langit cerah, terlihat Gunung Agung di latar belakang. Saking cantiknya pemandangan, banyak pelancong yang rela antri berjam-jam lamanya untuk bisa berfoto disana. Malah saking terkenalnya gerbang surga ini, sekarang konon ada tiruannya di Thailand!

Nah itu dia 5 tempat wisata di Karangasem. Jnagan lupa masukkan tempat-tempat itu di itinerary kalian saat liburan ke Bali ya.