Mengheningkan Cipta di Monumen Perjuangan Tanah Aron

Monumen Perjuangan Tanah Aron

Halo Sobat Urvasu, tidak terasa kita sudah memasuki tahun yang baru. Bagaimana kalian merayakan pergantian tahun? Kalau saya menyempatkan diri berlibur sehari di Kabupaten Karangasem. Saya menginap semalam di sebuah penginapan yang ada di dekat sebuah istana air milik kerajaan Karangasem, yakni Taman Tirta Gangga. Sangat menyenangkan sekali dapat melihat indahnya Taman Tirta Gangga dari teras kamar tempat saya menginap. Selain mengunjungi Tirta Gangga, saya juga mengunjungi Balai Warak di dekat Taman Ujung, berkeliling di Sibetan, berkunjung ke rumah salah satu penerima Beasiswa KIDS dari YKIP, dan yang menurut saya highlight dari kegiatan saya selama di Karangasem adalah mengunjungi Monumen Perjuangan Tanah Aron.

Awalnya, saya tidak merencanakan untuk mengunjungi Monumen Perjuangan Tanah Aron ini. Saya melihat plang petunjuk ke monumen ini saat saya tersesat karena mengikuti petunjuk Gmap saat janjian dengan siswa asuh YKIP tersebut. Monumen ini terletak di Banjar Tanah Aron, Desa Buana Giri, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Karena penasaran, saya mencari informasi lebih lanjut mengenai apa yang terjadi di Tanah Aron, hingga sebuah monumen didirikan di tempat ini.

Pendirian Monumen Perjuangan Tanah Aron: Mengenang Perang Revolusi

Monumen Perjuangan Tanah Aron didirikan untuk mengenang perjuangan para pahlawan revolusi yang dipimpin oleh Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai. Pasukan I Gusti Ngurah Rai berperang melawan tentara NICA yang berusaha merebut wilayah Indonesia untuk kembali dikolonisasi meskipun Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Pasukan pimpinan I Gusti Nurah Rai ini dikenal dengan nama Ciung Wanara, sebuah pasukan yang terkenal akan kegigihannya dalam berjuang serte semangat mereka yang menggebu-gebu mempertahankan kemerdekaan RI.

Pada tanggal 7 Juli 1946, sebuah pertempuran dahsyat terjadi di Tanah Aron antara pasukan Ciung Wanara dengan pasukan NICA. Perang ini adalah bagian dari strategi I Gusti Ngurah Rai untuk memecah pasukan NICA yang berjaga di Pelabuhan Gilimanuk. Saat itu, pasukan pejuang dari Bali meminta bantuan senjata dari Jawa, namun NICA menjaga Pelabuhan Gilimanuk degan sangat ketat. I Gusti Ngurah Rai berharap dengan long march ini, pasukan NICA akan mengikuti Ciung Wanara dan melemahkan penjagaan mereka di Gilimanuk. Siasat ini berhasil menarik pasukan NICA mengikuti mereka ke arah timur, namun ternyata penjagaan di Gilimanuk tidak dikendorkan.

Rute perjalanan pejuang Ciung Wanara

Selama perjalanan menuju Karangasem, pasukan NICA terus menguntit dan sempat terjadi kontak senjata di daerah Bangli. Meskipun demikian, Pasukan Ciung Wanara berhasil membawa pasukan NICA ini ke Tanah Aron. Pada tanggal 7 Juli 1946, pecah pertempuran Tanah Aron yang mengakibatkan tewasnya 82 orang anggota pasukan NICA. Menurut pelaku sejarah, tidak ada seorang pun pasukan Ciung Wanara yang gugur, namun informasi lainnya menyatakan satu anggota pasukan bernama I Soplog gugur dalam pertempuran ini. I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya kemudian menyingkir ke puncak Gunung Agung sembari meminta penduduk setempat untuk membuat orang-orangan sawah dan ditempatkan di area pertempuran. Setelah pasukan Ciung Wanara sampai di Puncak Gunung Agung, benar saja bala bantuan NICA datang ke Tanah Aron dan menembaki semua orang -orangan sawah tersebut. Siasat pasukan Ciung Wanara berhasil mengecoh NICA sekaligus menguras persediaan peluru mereka. Untuk memperingati kemenangan ini, pemerintah mendirikan sebuah monumen yang dikenal dengan Monumen Perjuangan Tanah Aron.

Menuju Monumen Perjuangan Tahan Aron

Monumen Perjuangan Tanah Aron terletak di Kecamatan Bebandem, cukup jauh dari Tirta Gangga. Dari pertigaan di Pande Besi, saya mengambil jalan ke kanan, sesuai dengan petunjuk yang ada. Awalnya saya kira perjalanan ini tidak akan lama, namun nyatanya memakan waktu hampir 40 menit. Jalan menuju monumen ini bisa dikatakan cukup bagus, namun di pertengahan harus ekstra hati-hati karena jalannya rusak. Setelah melewati jalan rusak ini, jalan kembali mulus, namu tanjakan menuntut kita untuk tetap waspada.

Di sepanjang jalan, saya menyaksikan perubahan bentang alam yang sangat ekstrim. Hamparan semak nan hijau memanjakan mata sepanjang jalan mulus paruh pertama. Setelah jalan mulai rusak, saya melihat area Galian C. Pasir, koral, serta batu-batu besar ditambang dengan peralatan berat dan diangkut dengan truk-truk besar. Jalan berlubang parah karena dilewati truk-truk besar sepanjang hari. Pasir serta koral juga bertebaran di tengah jalan. Beberapa kali saya hampir jatuh, namun saya bersyukur saya masih bisa mengendalikan motor supra saya. Saya bergidik ngeri membayangkan beberapa tahun yang lalu, wilayah itu rusak parah karena letusan Gunung Agung yang begitu dahsyat selama beberapa bulan. Kini hasil letusan tersebut dipanen untuk menjadi bahan bangunan. Meskipun letusan gunung itu kini mebawa berkah bagi orang-orang di sekitarnya, tetap saja saya merasa kengerian yang begitu dalam saat melewati wilayah tersebut.

Setelah jalan kembali mulus, di kanan dan kiri kita kembali terlihat hamparan hijaunya pepohonan. Sayangnya, saya tidak dapat menikmati sepenuhnya. Konsentrasi saya ada pada jalan menanjak yang sangat menantang. Begitu panjang tanjakannya dan penuh dengan kelokan. Monumen perjuangan Tanah Aron terletak di ujung jalan ini.

Memanjatkan Doa di Monumen Perjuangan Tanah Aron

Saya merasa cukup kecewa karena setelah perjalanan panjang yang begitu menguras tenaga dan pikiran, pintu monumen ini tertutup. Hampir saja saya balik kanan dan memutuskan untuk pulang ke Denpasar saja. Ternyata saat saya perhatikan, pintunya tidak digembok. Sayapun masuk ke dalam area monumen.

Di sebelah kiri, terdapat sebuah balai terbuka. Dikirinya, terdapat tembok pembatas yang dihiasi dengan tiga relief bertema perjuangan. Relief paling kiri menunjukkan tahap-tahap perjuangan nasional yang dimulai dari sumpah pemuda hingga proklamasi. Relief di tengah memberikan kita informasi mengenai rute yang ditempuh oleh Pasukan Ciung Wanara, dari Margarana menuju Tanah Aron dan sebaliknya. Perjalanan ini sangat panjang dan mengelilingi pegunungan-pegunungan di tengah-tengah pulau Bali. Relief ketiga merupakan salinan surat dari I Gusti Ngurah Rai. Pusat monumen ini adalah sebuah tugu dengan patung I Gusti Ngurah Rai pada puncaknya. Di dasar tugu, terdapat beberapa patung pejuang serta nama-nama pejuang dari Karangasem yang gugur saat menunaikan bakti pada Ibu Pertiwi.

Sesuai dengan tujuan saya kesana, di depan monumen saya menundukkan kepala serta memanjatkan doa untuk semua pahlawan yang telah mengorbankan jiwa dan raganya untuk kemerdekaan Indonesia. Selain berdoa kepada Tuhan agar arwah para pahlawan diterima di sisi-Nya, saya ucapkan terima kasih atas kesempatan yang saya raih saat ini. Menempuh pendidikan, mendapatkan pekerjaan, serta hidup dengan bebas yang saya nikmati saat ini, telah ditukarkan dengan darah dan air mata, serta nyawa oleh para pahlawan yang telah mendahului kita semua. Tidak terasa air mata saya meleleh saat memanjatkan doa ini. Perjuangan merekalah yang membuat kita semua dapat menikmati masa sekarang dengan lebih baik. Terlebih mengingat bagaimana beratnya perjalanan yang saya tempuh menuju monumen ini, saya merasa tidak ada apa-apanya dibandingkan perjalanan ratusan kilometer menyusup ke dalam hutan yang ditempuh para pejuang saat itu.

Setelah berdoa dan menenangkan diri, saya menyempatkan diri untuk melihat pemandangan sekeliling monumen. Gunung serta perbukitan yang tampak di kejauhan memberikan ketenangan dan semangat baru untuk kembali ke Denpasar. Setelah saya beristirahat sejenak, saya kembali ke Denpasar. Selama perjalanan, saya masih mersakan keharuan mendalam setelah berdoa di Monumen Perjuangan Tanah Aron. Kunjungan ke Tanah Aron ini telah membawa saya menyusuri tiga tempat pertempuran selama revolusi kemerdekaan: Margarana, Penglipuran, dan Tanah Aron.

Terus terang, menuliskan cerita ini kembali membawa keharuan dalam benak saya. Rasa yang sama seperti saat berdoa disana kembali saya rasakan. Setelah ini, saya sangat ingin menyampaikan hal yang begitu sering disampaikan oleh para orang tua kita: jangan sampai perjuangan para pahlawan jadi sia-sia. Kata-kata yang awalnya saya tidak begitu mengerti maknanya, namun setelah berkunjung ke Tanah Aron, melihat monumennya secara langsung, dan melihat peta perjuangan, saya mulai mengerti arti kata-kata tersebut. Mari kita semua berjuang mengisi kebebasan yang telah ditebus dengan pengorbanan nyawa para pahlawan.