Para Pelukis Kaca Nagasepaha: Seniman dari Bali Utara

Urvasu_Lukisan Wayang Nagasepaha
Lukisan wayang Nagasepaha, Dewa Siwa yang diapit oleh Punakawan, Merdah (kiri tengah) dan Tualen (kanan tengah) didatangi oleh Dewa Wisnu (kanan) dan Dewa Brahma (Kiri)

Saat membuka gallery HP, saya melihat beberapa foto dari setahun lalu. Foto-foto dari Pesta Kesenian Bali tahun lalu. Sebenarnya saya sedikit keki juga lihat foto-foto itu karena tahun ini tidak ada PKB, jadi saya tidak bisa memuaskan diri menonton pertunjukkan seni, nimbrung di workshop yang diselenggarakan di panggung terbuka, melihat berbagai macam lomba, serta yang tidak kalah pentingnya adalah mencicipi makanan enak yang berlimpah setiap kali PKB diselenggarakan. Yah mau gimana lagi, karena pandemi ini PKB tahun ini ditiadakan, jadilah kangen yang belum terobati hingga hari ini.

Dari sekian banyak foto yang saya kumpulkan saat itu, ada beberapa foto yang menarik perhatian saya. Foto-foto para pelukis kaca Nagasepaha. Nagasepaha sendiri merupakan nama sebuah desa di Bali Utara, tepatnya di Kabupaten Buleleng. Mereka adalah anak-anak sekolah yang belajar melukis kaca tradisi desa Nagasepaha. Sebagian besar dari mereka masih SMP, namun sudah jago melukis diatas lembaran kaca. Tangan-tangan mereka sudah sangat lihai memainkan peralatan lukisnya diatas kaca-kaca bening. Motif tradisional wayang khas Buleleng adalah motif yang paling banyak digambar.

Sejarah Pelukis Kaca Nagasepaha

Pelukis kaca di Desa Nagasepaha sudah ada sejak hampir seratus tahun yang lalu. Pelopor lukisan kaca di desa ini adalah seorang dalang terkenal dan juga merupakan pembuat wayang kulit, Ki Dalang Diah. Menurut cerita yang beredar di masyarakat, Dalang Diah adalah orang yang pertama membuat lukisan di atas kaca. Lukisan ini kemudian dikenal dengan nama lukisan kaca Nagasepaha.

Kembali ke tahun 1927, Dalang diah mendapatkan tantangan dari seorang kaya raya yang membawakan sebuah lukisan kaca dari Jepang untuk membuat lukisan kaca, namun dengan obyek wayang. Dalang Diah menerima tantangan tersebut, dengan syarat bahwa lukisan Jepang tersebut harus dikorbankan, agar Beliau dapat melihat proses pembuatannya. Jadilah lukisan kaca tersebut dikerik selapis demi selapis agar diketahui prosesnya. Stelah itu, dicobalah ke lembaran kaca dengan membuat lukisan wayang. Percobaan ini berhasil, dan jadilah ini cikal bakal lukisan kaca Nagasepaha. Oh ya, generasi pertama pelukis kaca di Nagasepaha merupakan hasil didikan Dalang Diah.

Lukisan Kaca Nagasepaha: Tak Melulu Wayang Klasik

Urvasu_Lukisan Wayang Nagasepaha dengan sentuhan Modern
Arjuna dan Krisna yang berjalan-jalan naik mobil. Lukisan kaca Nagasepaha dengan sentuhan modern

Cikal bakal lukisan kaca Nagasepaha awalnya adalah gambar-gambar wayang klasik khas Buleleng, dengan ciri khasnya yakni tokoh Tualen yang plontos. Gambar-gambar wayang ini pada umumnya bercerita tentang para dewa, raja-raja dan kesatria, para raksasa, dan peperangan yang merupakan sempalan dari wiracarita Mahabharata ataupun Ramayana. Gambar-gambar yang dibuat dengan detail yang sangat halus, dengan warna-warna khas pewayangan Bali.

Meskipun demikian, belakangan berkembang gaya lukisan baru. Para pelukis kaca Nagasepaha masih lekat dengan tema wayang, namun ada unsur-unsur modern yang dimasukkan ke dalamnya. Misalnya saja nih, Prabu Kresna dan Arjuna yang ditemani istrinya masing-masing naik sebuah mobil di jalan pedesaan. Waktu pameran itupun saya melihat beberapa lukisan modern seperti lambang negara kita, Garuda Pancasila yang dilukis pada selembar kaca.

Penerus Lukisan Kaca Nagasepaha

Para pelukis kaca Nagasepaha melakukan berbagai upaya untuk melestarikan kesenian dari daerah mereka. Salah satu upaya tersebut adalah melatih anak-anak untuk ikut melestarikan lukisan kaca Nagasepaha. Usaha pelestarian ini sebenarnya tidak hanya melestarikan gaya lukisan kaca Nagasepaha, tapi juga melestarikan lukisan wayang gaya Bali Utara. Kenapa? Karena anak-anak yang belajar melukis kaca harus belajar dulu melukis wayang diatas kertas.

Pelukis kaca Nagasepaha
Lukisan kaca Nagasepaha dibuat oleh pelukis kaca pemula.

Setelah mereka mahir melukis diatas kertas, barulah proses belajar melukis diatas kaca dengan menggunakan cat dimulai. Para pemula biasanya membuat sketsa yang diinginkan di atas kertas terlebih dahulu, kemudian menempelkan kaca diatas sketsa tersebut. Nah, bagi yang sudah mahir akan langsung menuangkan ide di kepalanya diatas kaca. Ternyata cara melukis ini susah banget lho, karena yang akan tampak di depan bukanlah bagian kaca yang dilukis, namun sebaliknya. Bisa dibayangkan susahnya melukis kaca sambil mereka-reka bagaiman jadinya lukisan tampak depan, hehehe. Ini malah lebih sulit lagi kalau ada tulisan aksara Balinya. Menulis cara biasa saja sudah susah, apalagi manulis dengan cara terbalik. Salut deh untuk para pelukis kaca Nagasepaha ini.

Pelukis kaca Nagasepaha yang sudah mahir.

Selain melestarikan gaya lukisan wayang, pelestarian lukisan kaca Nagasepaha juga melestarikan aksara dan Bahasa Bali lho. Pada gaya lukisan tradisional Bali, nama tokoh akan dituliskan dalam Aksara Bali pada lukisan. Biasanya sih pada bagian atas. Selain itu, para pelukis kaca Nagasepaha ini harus belajar dulu cerita-cerita pewayangan yang ingin dituangkan ke dalam lukisan, sehingga secara tidak langsung mereka pun meneruskan mata rantai pelestarian cerita tradisional Bali.

Buat saya, ini adalah sebuah usaha yang sangat kompleks untuk melestarikan kebudayaan, terutama pada bidang kesenian. Semoga lukisan kaca Nagasepaha tetap lestari. Bagi sobat Urvasu yang penasaran, yuk kapan-kapan kita main ke Nagasepaha setelah korona berakhir, sambil belajar dan menikmati keindahan kesenian yang unik di Bali Utara. Siapa tahu ada lukisan yang akhirnya ikut ke rumah dan menjadi penghias ruang tamu, hehehe.

Dikhianati Saat Pandemi

Ngomongin Pandemi ini mungkin memang tidak ada habisnya, hingga sayapun merasa sudah bosan membicarakan hal ini. Tapi sekarang saya niat bercerita lagi kenapa saya merasa dikhianati saat pandemi. Ada usaha yang sangat panjang dan pengendalian diri yang sangat ketat dikhianati begitu saja oleh orang-orang yang seharusnya memberikan contoh yang baik.

2020 ini menjadi tahun politik untuk beberapa daerah. Di Bali saja, akan ada pemilihan kepala daerah di beberapa kabupaten dan satu kotamadya. Seperti tahun-tahun politik sebelumnya, tahun ini pastinya akan lumayan “panas” untuk mencari dukungan dan lain-lain.

Dikhianati selama pandemi
Ilustrasi keramaian saat pandemi Sumber: Pixabay

Pengumpulan Massa saat Pandemi

Setelah hampir 6 bulan masa-masa pembatasan kegiatan, saya merasa begitu beratnya menahan diri untuk keluar rumah dan sekadar berbelanja makanan. Meskipun beberapa hari sekali saya masih ke kantor dan melakukan beberpa kegiatan di luar rumah saat mengerjakan tugas kantor, saya masih berusaha untuk menuruti anjuran pemerintah untuk di rumah saja. Betapa saya kangen mantai, kangen melegakan rongga sinus saya yang tambah sering kumat dengan udara pantai, dan mengunjungi sanggar tari dan teman-teman saya di Batuan. Kangen yang tidak pernah terlampiaskan selama 6 bulan belakangan ini.

Rindu yang saya tahan beberapa lama ini, tiba-tiba berubah menjadi rasa marah yang bikin hidung saya kembang kempis. Terus terang saya merasa dikhianati saat pandemi ini. Bukan karena pujaan hati yang selingkuh, tapi karena perilaku tokoh-tokoh masyarakat yang tidak bisa menempatkan dirinya. Teman saya yang tinggal di kabupaten yang berdekatan dengan Kota Denpasar bercerita bahwa pada upacara Piodalan di Pura Dalem desanya, akan ada pejabat yang datang ke desanya. Awalnya sih saya gak begitu peduli kalau ada pejabat yang datang ke Pura, hal itu sudah biasa. Namun saya jadi geram karena ternyata saat pejabat itu datang, ada 3 banjar yang anggotanya wajib datang ke Pura untuk audiensi dengan sang Bupati. Ya ampun, saya gregetan sekali. Sebesar-besarnya pura, jika yang datang 3 banjar, tidak mungkin akan dapat menjaga jarak fisik minimal 1,5 meter. Pastinya malah bikin kerumunan kan.

Baca juga: Sisi Lain Covid19 Buat Saya

Entah itu memang warga yang mengundang pak Pejabat atau Pak Pejabat yang mau datang untuk bersembahyang, entahlah, tapi yang Pak Pejabat itu lakukan JAHAT. Sebagai pejabat yang harusnya menjadi contoh bagi publik, Beliau seharusnya tidak melakukan hal ini. Toh jika masyarakat yang mengundang Beliau bisa menolak dengan menyampaikan bahwa hal itu melanggar protokol kesehatan. Masyarakat juga gak akan berani maksa kan? Tapi kalau ini adalah insiatif Beliau, saya sudah gak bisa bilang apa-apa lagi deh. Tinggal teman-teman aja yang menilai, yang begini-begini pantas gak jadi pejabat publik? Apalagi kalau ternyata dipakai ajang perkenalan sebelum kampanye, sudah gak bener lagi namanya. Oh ya, temen saya melarang bapak dan ibunya datang ke pura lho saat si pejabat datang. Mereka sembahyang setelah si pejabat pulang dan kondisi pura lebih sepi. Itu baru satu contoh ya yang dilakukan Pejabat, contoh lainnya masih ada banyak, asalkan rajin2 nanya ke orang di daerah pasti dapat, karena yang begini hampir gak pernah diliput oleh media.

Itu saja saya sudah merasa dikhianati saat pendemi oleh pejabat, walaupun kejadiannya bukan di sekitar rumah saya lho ya. Itu beda kabupaten ya, tapi tetap saja saya mendongkol. Kita-kita yang taat protokol kesehatan, gak keluar rumah, bahkan yang punya anak bayi mau di imunisasi aja ketar-ketir saat harus ke RS. Eh ini malah pejabat yang harusnya menjadi contoh baik malah bikin ulah.

Akankah Dikhianati Saat Pandemi di Musim Kampanye?

Pengkhianatan ini juga sudah mulai dilakukan oleh calon pejabat publik lho. Calon lho ya, mereka-mereka itu yang akan bertarung di Pilkada nanti. Saat pendaftaran calon kepala daerah, sudah banyak yang melanggar. Dari sekian banyak pelanggaran, beberapa diantaranya sudah kena teguran Kemendagri.

Bagaimana dengan tempat tinggal saya? Kalau saya liat sih, di daftar tersebut tidak ada. Tapi gimana ya? Kok sepertinya too sweet to be true, hehehe. Seingat saya, saya sempat melihat di televisi ada calon bupati yang diiringi dengan gamelan baleganjur saat melakukan pendaftaran. KPUD hanya mengizinkan orang dalam jumlah terbatas untuk masuk ke area KPUD, tapi di jalan mana tahu kan? Mungkin saja ada arak-arakan atau sejenisnya, ya sambil unjuk gigi kekuatan partai lah. Hal yang gak perlu dilakukan pada kondisi sekarang ini. orang-orang juga udah tahu kok kalau diusung partai tertentu itu pasti sudah kuat, kalo gak kuat gak mungkin lah bisa mendukung bakal calon, ya gak?

Sekarang banyak baliho sudah terpasang, menggantikan baliho-baliho kewaspadaan akan Covid. Di satu tempat saja yang biasanya saya lewati saat ngantor, dulunya ada baliho ajakan untuk sering-sering cuci tangan, pakai masker, dan jaga jarak fisik. Terakhir kali saya lewat sana, yang nangkring di tempat itu adalah foto calon pemimpin masa depan, padahal setahu saya saat ini belum ada tuh izin untuk mulai kampanye. Jangan-jangan nanti kalau sudah mulai kampanye, sampai ada yang mengumpulkan masa seperti konser atau dangdutan yang sempat diizinkan KPU. Untungnya kebijakan ini sudah dicabut.

Karena saya merasa dikhianati saat pandemi, sekarang saya jadi lebih ketat untuk memilih siapa yang akan saya dukung saat Pilkada nanti. Meskipun calonnya pintar, baik, rajin menabung dan taat beribadah, kalu sudah abai dengan protokol kesehatan saya langsung coret dari daftar pilihan saya. Saya gak mau memilih orang yang saat belum naik menjabat tapi sudah menyengsarakan orang lain. Bayangkan kalau sampai kasus Covid melonjak gara-gara kampanye Pilkada, kemudian orang tersebut yang naik menjabat, apakah mungkin dia akan memperhatikan urusan rakyat? Kalau dia gagal mengantisipasi masalah sebelum menjabat, apa ia ia akan jadi pemimpin yang baik? Jika 100 hari pertama dihabiskan hanya untuk mengatasi ledakan kasus karena ulahnya sendiri, layakkah yang begini memimpin sampai 5 tahun kedepan? Buat saya big NO untuk calon yang mengabaikan protokol kesehatan selama kampanye.

Yuk untuk pilkada selama masa Pandemi ini kita jadi lebih bijak, jangan lagi hanya melihat profil calonnya aja, atau karena memang sudah ada jagoan yang diungulkan. Cara kampanyenya sekarang akan menjadi cerminan bagaimana ia akan melaksanakan tugasnya selama menjabat. Sekali lagi, katakan tidak untuk calon yang abai akan protokol kesehaan selama kampanye. Jangan mau dikhianati saat pandemi oleh para calon pejabat publik.