Mengheningkan Cipta di Monumen Perjuangan Tanah Aron

Monumen Perjuangan Tanah Aron

Halo Sobat Urvasu, tidak terasa kita sudah memasuki tahun yang baru. Bagaimana kalian merayakan pergantian tahun? Kalau saya menyempatkan diri berlibur sehari di Kabupaten Karangasem. Saya menginap semalam di sebuah penginapan yang ada di dekat sebuah istana air milik kerajaan Karangasem, yakni Taman Tirta Gangga. Sangat menyenangkan sekali dapat melihat indahnya Taman Tirta Gangga dari teras kamar tempat saya menginap. Selain mengunjungi Tirta Gangga, saya juga mengunjungi Balai Warak di dekat Taman Ujung, berkeliling di Sibetan, berkunjung ke rumah salah satu penerima Beasiswa KIDS dari YKIP, dan yang menurut saya highlight dari kegiatan saya selama di Karangasem adalah mengunjungi Monumen Perjuangan Tanah Aron.

Awalnya, saya tidak merencanakan untuk mengunjungi Monumen Perjuangan Tanah Aron ini. Saya melihat plang petunjuk ke monumen ini saat saya tersesat karena mengikuti petunjuk Gmap saat janjian dengan siswa asuh YKIP tersebut. Monumen ini terletak di Banjar Tanah Aron, Desa Buana Giri, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Karena penasaran, saya mencari informasi lebih lanjut mengenai apa yang terjadi di Tanah Aron, hingga sebuah monumen didirikan di tempat ini.

Pendirian Monumen Perjuangan Tanah Aron: Mengenang Perang Revolusi

Monumen Perjuangan Tanah Aron didirikan untuk mengenang perjuangan para pahlawan revolusi yang dipimpin oleh Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai. Pasukan I Gusti Ngurah Rai berperang melawan tentara NICA yang berusaha merebut wilayah Indonesia untuk kembali dikolonisasi meskipun Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Pasukan pimpinan I Gusti Nurah Rai ini dikenal dengan nama Ciung Wanara, sebuah pasukan yang terkenal akan kegigihannya dalam berjuang serte semangat mereka yang menggebu-gebu mempertahankan kemerdekaan RI.

Pada tanggal 7 Juli 1946, sebuah pertempuran dahsyat terjadi di Tanah Aron antara pasukan Ciung Wanara dengan pasukan NICA. Perang ini adalah bagian dari strategi I Gusti Ngurah Rai untuk memecah pasukan NICA yang berjaga di Pelabuhan Gilimanuk. Saat itu, pasukan pejuang dari Bali meminta bantuan senjata dari Jawa, namun NICA menjaga Pelabuhan Gilimanuk degan sangat ketat. I Gusti Ngurah Rai berharap dengan long march ini, pasukan NICA akan mengikuti Ciung Wanara dan melemahkan penjagaan mereka di Gilimanuk. Siasat ini berhasil menarik pasukan NICA mengikuti mereka ke arah timur, namun ternyata penjagaan di Gilimanuk tidak dikendorkan.

Rute perjalanan pejuang Ciung Wanara

Selama perjalanan menuju Karangasem, pasukan NICA terus menguntit dan sempat terjadi kontak senjata di daerah Bangli. Meskipun demikian, Pasukan Ciung Wanara berhasil membawa pasukan NICA ini ke Tanah Aron. Pada tanggal 7 Juli 1946, pecah pertempuran Tanah Aron yang mengakibatkan tewasnya 82 orang anggota pasukan NICA. Menurut pelaku sejarah, tidak ada seorang pun pasukan Ciung Wanara yang gugur, namun informasi lainnya menyatakan satu anggota pasukan bernama I Soplog gugur dalam pertempuran ini. I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya kemudian menyingkir ke puncak Gunung Agung sembari meminta penduduk setempat untuk membuat orang-orangan sawah dan ditempatkan di area pertempuran. Setelah pasukan Ciung Wanara sampai di Puncak Gunung Agung, benar saja bala bantuan NICA datang ke Tanah Aron dan menembaki semua orang -orangan sawah tersebut. Siasat pasukan Ciung Wanara berhasil mengecoh NICA sekaligus menguras persediaan peluru mereka. Untuk memperingati kemenangan ini, pemerintah mendirikan sebuah monumen yang dikenal dengan Monumen Perjuangan Tanah Aron.

Menuju Monumen Perjuangan Tahan Aron

Monumen Perjuangan Tanah Aron terletak di Kecamatan Bebandem, cukup jauh dari Tirta Gangga. Dari pertigaan di Pande Besi, saya mengambil jalan ke kanan, sesuai dengan petunjuk yang ada. Awalnya saya kira perjalanan ini tidak akan lama, namun nyatanya memakan waktu hampir 40 menit. Jalan menuju monumen ini bisa dikatakan cukup bagus, namun di pertengahan harus ekstra hati-hati karena jalannya rusak. Setelah melewati jalan rusak ini, jalan kembali mulus, namu tanjakan menuntut kita untuk tetap waspada.

Di sepanjang jalan, saya menyaksikan perubahan bentang alam yang sangat ekstrim. Hamparan semak nan hijau memanjakan mata sepanjang jalan mulus paruh pertama. Setelah jalan mulai rusak, saya melihat area Galian C. Pasir, koral, serta batu-batu besar ditambang dengan peralatan berat dan diangkut dengan truk-truk besar. Jalan berlubang parah karena dilewati truk-truk besar sepanjang hari. Pasir serta koral juga bertebaran di tengah jalan. Beberapa kali saya hampir jatuh, namun saya bersyukur saya masih bisa mengendalikan motor supra saya. Saya bergidik ngeri membayangkan beberapa tahun yang lalu, wilayah itu rusak parah karena letusan Gunung Agung yang begitu dahsyat selama beberapa bulan. Kini hasil letusan tersebut dipanen untuk menjadi bahan bangunan. Meskipun letusan gunung itu kini mebawa berkah bagi orang-orang di sekitarnya, tetap saja saya merasa kengerian yang begitu dalam saat melewati wilayah tersebut.

Setelah jalan kembali mulus, di kanan dan kiri kita kembali terlihat hamparan hijaunya pepohonan. Sayangnya, saya tidak dapat menikmati sepenuhnya. Konsentrasi saya ada pada jalan menanjak yang sangat menantang. Begitu panjang tanjakannya dan penuh dengan kelokan. Monumen perjuangan Tanah Aron terletak di ujung jalan ini.

Memanjatkan Doa di Monumen Perjuangan Tanah Aron

Saya merasa cukup kecewa karena setelah perjalanan panjang yang begitu menguras tenaga dan pikiran, pintu monumen ini tertutup. Hampir saja saya balik kanan dan memutuskan untuk pulang ke Denpasar saja. Ternyata saat saya perhatikan, pintunya tidak digembok. Sayapun masuk ke dalam area monumen.

Di sebelah kiri, terdapat sebuah balai terbuka. Dikirinya, terdapat tembok pembatas yang dihiasi dengan tiga relief bertema perjuangan. Relief paling kiri menunjukkan tahap-tahap perjuangan nasional yang dimulai dari sumpah pemuda hingga proklamasi. Relief di tengah memberikan kita informasi mengenai rute yang ditempuh oleh Pasukan Ciung Wanara, dari Margarana menuju Tanah Aron dan sebaliknya. Perjalanan ini sangat panjang dan mengelilingi pegunungan-pegunungan di tengah-tengah pulau Bali. Relief ketiga merupakan salinan surat dari I Gusti Ngurah Rai. Pusat monumen ini adalah sebuah tugu dengan patung I Gusti Ngurah Rai pada puncaknya. Di dasar tugu, terdapat beberapa patung pejuang serta nama-nama pejuang dari Karangasem yang gugur saat menunaikan bakti pada Ibu Pertiwi.

Sesuai dengan tujuan saya kesana, di depan monumen saya menundukkan kepala serta memanjatkan doa untuk semua pahlawan yang telah mengorbankan jiwa dan raganya untuk kemerdekaan Indonesia. Selain berdoa kepada Tuhan agar arwah para pahlawan diterima di sisi-Nya, saya ucapkan terima kasih atas kesempatan yang saya raih saat ini. Menempuh pendidikan, mendapatkan pekerjaan, serta hidup dengan bebas yang saya nikmati saat ini, telah ditukarkan dengan darah dan air mata, serta nyawa oleh para pahlawan yang telah mendahului kita semua. Tidak terasa air mata saya meleleh saat memanjatkan doa ini. Perjuangan merekalah yang membuat kita semua dapat menikmati masa sekarang dengan lebih baik. Terlebih mengingat bagaimana beratnya perjalanan yang saya tempuh menuju monumen ini, saya merasa tidak ada apa-apanya dibandingkan perjalanan ratusan kilometer menyusup ke dalam hutan yang ditempuh para pejuang saat itu.

Setelah berdoa dan menenangkan diri, saya menyempatkan diri untuk melihat pemandangan sekeliling monumen. Gunung serta perbukitan yang tampak di kejauhan memberikan ketenangan dan semangat baru untuk kembali ke Denpasar. Setelah saya beristirahat sejenak, saya kembali ke Denpasar. Selama perjalanan, saya masih mersakan keharuan mendalam setelah berdoa di Monumen Perjuangan Tanah Aron. Kunjungan ke Tanah Aron ini telah membawa saya menyusuri tiga tempat pertempuran selama revolusi kemerdekaan: Margarana, Penglipuran, dan Tanah Aron.

Terus terang, menuliskan cerita ini kembali membawa keharuan dalam benak saya. Rasa yang sama seperti saat berdoa disana kembali saya rasakan. Setelah ini, saya sangat ingin menyampaikan hal yang begitu sering disampaikan oleh para orang tua kita: jangan sampai perjuangan para pahlawan jadi sia-sia. Kata-kata yang awalnya saya tidak begitu mengerti maknanya, namun setelah berkunjung ke Tanah Aron, melihat monumennya secara langsung, dan melihat peta perjuangan, saya mulai mengerti arti kata-kata tersebut. Mari kita semua berjuang mengisi kebebasan yang telah ditebus dengan pengorbanan nyawa para pahlawan.

Mengenang Perjuangan Kapten Mudita Pahlawan dari Bangli

Tugu Peringatan Kapten Mudita Pahlawan Dari Bangli
Tugu Peringatan Pertempuran di Penglipuran

Bagi teman-teman dari Bangli dan sekitarnya, pastinya nama Kapten Mudita sudah sangat familiar. Lapangan di jantung kota Bangli pun dinamai dengan nama Beliau, Lapangan Kapten Mudita. Tapi bagi sebagian orang, terutama yang berasal dari luar Kabupaten Bangli, nama Kapten Mudita pahlawan dari Bangli tidak begitu dikenal, bahkan mungkin sebagian besar orang Bali sekalipun tidak tahu siapa itu Kapten Mudita.

Saya sendiri baru mengetahui cerita tentang gigihnya perjuangan Beliu beberapa tahun ke belakang. Saya sudah mendengar nama beliau dari sejak zaman sekolah dan mengetahui bahwa lapangan umum di Bangli menggunakan nama Beliau, namun ketertarikan saya pada cerita Perjuangan beliau baru dimulai saat saya mengunjungi desa terbersih di Bali: Penglipuran. Saat kunjungan saya kesana, saya melihat petunjuk arah menuju tugu pahlawan. Karena penasaran, saya akhirnya mengikuti arah yang ditunjukkan, sedikit keluar dari areal desa. Di sebelah kanan saya, ada sebuah lapangan luas dengan tugu yang terlihat di hulu lapangan tersebut.

Saya mengunjungi tugu tersebut dengan pertanyaan di benak saya, siapa gerangan pahlawan yang perjuangannya diabadikan dalam tugu yang demikian indahnya. Tentunya pahlawan yang dikenang denan tugu seindah itu telah berjuang dengan gigih mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pertanyaan saya terjawab: Beliau adalah Anak Agung Gede Anom Mudita, yang lebih dikenal dengan panggilan Kapten Mudita. Sejak saat itu, saya jadi penasaran dengan perjuangan beliau mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Bali.

Pejuang Kemerdekaan: Kapten Mudita Pahlawan dari Bangli

Terlahir pada keluarga bangsawan di Puri Kilian Bangli, Kapten Mudita muda menempuh pendidikan Belanda yang dimulai dari sekolah dasar di HIS Klungkung dan dilanjutkan ke Sekolah Dagang Belanda di Surabaya dan Malang. Seusai menamatkan sekolah tersebut, Kapten Mudita kemudian terjun ke dunia militer. Pada saat pendudukan Jepang, Kapten Mudita dipercaya menjadi polisi Jepang, namun karena sakit, Beliau dibebastugaskan. Saat beliau mendengar bahwa kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan di Jakarta, konon Beliau sembuh total dari sakitnya.

Saat Belanda dengna sekutnya dibawah bendera NICA datang ke Indonesia untuk merebut kembali wilayah Indonesia dan menjadikannya jajahan Belanda, Kapten Mudita bersama kakaknya melanjutkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kapten Mudita meninggalkan istrinya yang sedang hamil dan menitipkannya kepada ibunda Beliau yang memgang kekuasaan Puri Kilian saat itu. Kapten Mudita kemudian menjadi koordinator pejuang wilayah Bali Timur yang membawahi para pejuang dari Bangli, Gianyar, Klungkung, dan Karangasem. Posisi ini diberikan oleh komandan perang gerilya di Bali, I Gusti Ngurah Rai, karena piawainya Kapten Mudita melakukan perang dengan strategi gerilya. Moto perjuangan Kapten Mudita adalah “Merdeka Seratus Persen”.

Baca juga: Para Pelukis Kaca Nagasepaha: Seniman dari Bali Utara

Perjuangan Kapten Mudita tidak lepas dari dukungan warga Penglipuran dan sekitarnya. Kapten Mudita membuat pasukan yang berpusat di Desa Penglipuran yang dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat. Lumbung padi yang ada di Penglipuran menjadi pasokan makanan para pejuang, disamping juga bantuan dari masyarakat sekitar yang membantu para pejuang dengan sukarela. Pasukan pejuang ini sebagian besar menggunakan bambu runcing untuk berjuang.

Perjuangan Kapten Mudita memimpin masyarakat Bangli untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia merupakan perjuangan yang sangat berat. Berbagai strategi dikembangkan untuk melawan penjajah, temasuk dengan melakukan berbagai siasat gerilya. Rapat-rapat membahas strategi perang dilakukan di rumah-rumah warga Desa Penglipuran untuk menghindari kejaran pasukan NICA. Selain itu, Beliau juga membuat bunker perlindungan yang konon katanya ada di tengah rimbunnya hutan bambu Desa Penglipuran. Sumber lain menyatakan bahwa Kapten Mudita juga pernah berlindung di Banjar Yoh, Desa Pengotan. Disana juga Beliau membuat bunker perlindungan, namun tempatnya kini sudah tidak bisa terjangkau.

Perjuangan berat Kapten Mudita pahlawan dari Bangli akhirnya usai saat Beliau disergap saat melakukan perjalanan dari Tegalsana menuju Penglipuran. Pertempuran pecah di Penglipuran dan karena kalah persenjataan, Kapten Mudita gugur di Desa Penglipuran. Para pendukung Beliaupun ditangkap Belanda. Tidak sampai disana saja kekejaman NICA. Bahkan jenasah Beliau diperintahkan untuk diletakkan di perempatan Desa Kubu. Jenasah Beliau dibawa ke perempatan Desa Kubu oleh masyarakat Penglipuran. Hal yang dianggap NICA akan melemahkan perjuangan masyarakat Bangli ternyata tidak terjadi. Sore harinya, masyarakat datang ke perempatan untuk memberikan penghormatan terakhir kepada sang kusuma bangsa. Darah Beliau yang tercecer dioleskan di dahi oleh masyarakat yang datang, sebagai pengingat kepahlawanan Beliau serta semangat merebut kemerdekaan yang tidak akan padam.

Tugu Pahlawan Penglipuran: Mengenang Kapten Mudita pahlawan dari Bangli

Setelah Indonesia merdeka, awalnya pemerintah Kabupaten Bangli berencana untuk membuat sebuah tugu peringatan untuk mengenang kepahlawanan Kapten Mudita beserta masyarakat Penglipuran dan sekitarnya. Ternyata inisiatif pemerintah tidak tercapai karena berbagai kendala. Akhirnya sebuah tugu peringatan dibuat di Puri Kilian Bangli oleh keluarga besar Puri untuk mengenang kepahlawanan salah satu anggota keluarga puri yang mengharumkan nama Puri.

Masyarakat Desa Penglipuran membangun sebuah monumen tidak kauh dari areal Desa Tradisional Penglipuran. Monumen yang cantik dengan ukiran yang indah ini ternyata memiliki arti tersendiri yang melambangkan tanggal kemerdekaan Indonesia serta tanggal wafatnya Kapten Mudita. Adapun simbol-simbol tersebut dapat dilihat dari satu buah bangunan candi yakni angka 1, ukuran tinggi candi 7 meter angka 7, dasar candi berupa segi delapan melambangkan angka 8. Pintu candi yang berjumlah 4 melambangkan angka 4, sedangkan undakan di masing-masing pintu berjumlah lima melambangkan angka 5. Jadi candi tersebut melambangkan angka 17-8-1945, tanggal kemerdekaan Republik Indonesia.

Untuk mengenang tanggal wafat Kapten Mudita, ada dua buah bangunan tambahan yakni Bale Mas dan Bale Kulkul yang letaknya terpisah jarak 20 meter, melambangkan angka 20. Bulan November atau bulan kesebelas dilambangkan dengan sebelas lidah api yang menyangga patuh Dewa Brahma yang terletak di ujung candi. Sedangkan untuk tahunnya, 1947 bisa diambil dari uraian diatas. Selain monumen ini, terdapat juga sebuah batu yang bertuliskan Merdeka Seratus Persen, serta beberapa monumen kecil untuk mengenang para pahlawan yang juga gugur saat pertempuran di Penglipuran.

Sayangnya, saya tidak bisa menemukan foto Kapten Mudita. Saat ke Penglipuran pun saya hanya sempat mengambil foto monumen saja karena kehabisan batere handphone. Saya juga menyesal saat pertama kesana saya tidak mengetahui tentang monumen ini sehingga saya tidak mempersiapkan diri untuk berziarah, setidaknya membawa bunga untuk diletakkan di monumen. Semoga nanti saya dapat kesempatan kesana untuk berziarah dan mengheningkan cipta di depan monumen.

Yuk teman yang akan main ke Penglipuran, jangan lupa untuk meluangkan waktu berkunjung dan berziarah ke tugu peringatan yang letaknya tidak jauh dari desa wisata ini. Sempatkan diri untuk mengheningkan cipta sejenak untuk mengenang jasa para pahlawan yang sudah mengorbankan banyak hal, termasuk nyawanya untuk kemerdekaan Indonesia. Apa yang kita nikmati hari ini adalah buah dari pengorbanan mereka. Semenit hening di depan monumen untuk mengucapkan terima kasih adalah bentuk penghormatan kepada Beliau yang telah mendahului kita.

Aryanti Putri Atlet Difabel yang Menginspirasi

Atlet Difabel Arianti Putri_Urvasu
Poster kemenangan Atlet difabel Arianti Putri

Kali ini saya mau berbagi cerita tentang teman saya yang masih muda, tapi sangat menginspirasi sekali. Dua tahun yang lalu, ada perhelatan istimewa yang digelar di negara kita. Asian Para Games adalah sebuah perhelatan olah raga terbesar bagi saudara kita yang difabel. Event olahraga ini memang tidak seheboh pelaksanaan Asian Games. Ada satu kebanggaan tersendiri bagi Indonesia karena telah berhasil menggelar kegiatan yang istimewa ini.

Dari sekian banyak peserta Asian Para Games ini, ada satu atlet difabel berprestasi yang menarik perhatian saya. Yup, Arianti Putri adalah seorang penyandang disabilitas netra yang mendapatkan dua medali perak di nomor lari. Kenapa Ari, nama panggilan gadis ini, menarik perhatian saya, karena ternyata saya pernah bertemu secara langsung dengannya. Perkenalan saya dengan remaja berprestasi ini diawali saat saya berkunjung ke sebuah sekolah SLB A di Denpasar. Saati itulah saya kenal dengan Ariyanti, yang kakak sepupunya juga saya kenal. Ternyata dunia sempit, hehehe. Saat itu saya tidak tahu bahwa anak ini akan menjadi atlet difabel tingkat nasional yang mengharumkan nama Indonesia.

Atlet Difabel Peraih Medali Perak

 Pada perhelatan Asian Para Games yang lalu, Arianti meraih 2 perak di cabang 100 meter putri T13 dan 400 meter T13. Nah kalo sobat masih bingung apa itu T13 penjelasannya dari paralympic.org sebagai berikut:

Semangat terus ya Ariyanti, semoga bisa menyelesaikan pendidikan dengan baik, terus berprestasi dan selalu menjadi inspirasi tidak hanya buat teman-teman tuna netra, tapi juga bagi kami semuanya 🙂

Pekak Ketut Rida: Sastrawan Bahasa Bali peraih Rancage

Sobat Urvasu, kali ini saya mau cerita tentang jalan-jalan saya ke Klungkung. Kalau sebelumnya saya ke Klungkung mencari kain endek, kali ini saya kesana untuk bertemu dengan seorang sastrawan Bahasa Bali yang sudah malang melintang di dunia Sastra Bali. Beliau adalah Pekak (kakek) I Ketut Rida. Pengarang dengan begitu banyak karya yang tersebar di majalah, koran dan terbitan lainnya.

Sastrawan Bahasa Bali I Ketut Rida_Urvasu
Sastrawan Bahasa Bali I Ketut Rida

Mengunjungi Pekak Rida

Sehari setelah Hari Raya Kuningan, saya menghabiskan waktu untuk melali. Pemberhentian saya yang pertama adalah Njana Tilem Museum, lalu setelah puas disana saya pun melanjutkan perjalanan ke Sulang. Tujuan pertama saya adalah rumah Mbok Nengah, yang sudah menjadi keluarga kedua saya. Dulu saat KKN, rumah Mbok Nengah adalah tempat saya menghabiskan waktu  saat kegiatan sedang senggang. Anak-anak Mbok Nengah juga sudah seperti adik saya sendiri, bercanda hingga saling ejek sudah menjadi kegiatan sehari-hari kami, bahkan berlanjut sampai sekarang melalui WA 😀

Saat saya datang, ternyata sedang dilakukan upacara Penyineban di Pura Dalem Sulang, dan kebetulan keluarga Mbok Nengah yang bertugas saat itu. Rumahnya kosong, jadi saya disana menghabiskan waktu dan makanan sembari menunggu anak-anak Mbok Nengah datang dari melaksanakan tugas.  Setelah berbincang-bincang dan beberapa puluh foto selfie, saya meminta salah seorang dari mereka mengantarkan saya mengunjungi sastrawan terkenal dari Sulang, Pekak Ketut Rida.

Sastrawan bahasa Bali I Ketut Rida_Urvasu
Pekak Ketut Rida dan bukunya, Lawar Goak. Tetap semangat di usia senja

Ternyata rumah Pekak Rida tidak terlalu jauh dari rumah Mbok Nengah. Duh, ternyata di gang kecil itu, padahal 6 tahun lalu saat masih KKN saya sering lewat gang itu dan tidak tahu kalau itu adalah rumah Pekak Rida.  Saat itu Pekak Rida baru saja selesai mandi dan duduk di terasnya. Saya masuk rumah dan setelah mengucapkan salam menghampiri Beliau. Anggota keluarga yang lain juga ikut datang menyambut saya. Karena saking seringnya Pekak Rida menerima mahasiswa, saya ditanya dari kampus mana. Hehehe saya jadi merasa muda 😀

Ternyata Pekak Rida sedang sakit. Beberapa waktu yang lalu,  Beliau dirawat selama sebulan di RSUP Sanglah Denpasar. Meskipun demikian, Beliau menyambut saya dengan tangan terbuka, seraya meminta maaf karena mungkin nanti tidak bisa menjawab pertanyaan saya karena sudah pikun. Beliau adalah kelahiran tahun 1939, genap 80 tahun. Keriput serta gurat-gurat usia terlihat dengan jelas, namun mata yang berbinar penuh semangat mengalahkan pemuda manapun yang pernah saya lihat.

Sastrawan Bahasa Bali: Prestasi Pekak Rida dari masa ke masa

Sejak kecil, Pekak Rida telah menggeluti dunia Sastra Bali, baik kesusastraan Bali Kuno maupun Kesusastraan Bali Anyar (modern). Dengan latar belakang Pendidikan di sekolah guru, Pekak Rida mengabdikan hamper seluruh hidup Beliau pada dunia Pendidikan, Sastra, dan social kemasyarakatan. Kiprahnya telah dimulai dari masa kuliah saat salah seorang dosennya mengetahui bakatnya dan memintanya membuat novel 80 halaman untuk diikutkan pada Pesta Kesenian Bali. Sejak tahun 1977 beliau mnorehkan prestasi sebagai juara sayembara cerpen Bahasa Indonesia Guru SD tingkat Provinsi Bali. Tahun-tahun berikutnya pun sarat dengan prestasi dari berbagai perlombaan. Tahun 1980 menjadi pemenang lomba novel berbahasa Bali, dan tahun 1982 menjadi pemenang kedua lomba membuat “geguritan” (tembang) dan tahun 1991 menjadi juara I lomba menulis cerpen Bahasa Bali di Harian Bali Post.

Selain mengikuti berbagai perlombaan, Pekak Rida juga sangat aktif menulis. Pada rentang tahun 1970-1990 ada begitu banyak karya beliau yang diterbitkan dalam harian Bali Post. Selain itu juga diterbitkan dalam majalah Canang Sari. Kumpulan puisi Beliau yang berjudul Nyisik Bulu diterbitkan oleh Balai Bahasa Denpasar pada tahun 2004. Novel Sunari yang diterbitkan Yayasan Obor tahun 1999 mengantarkan Beliau sebagai pemenang penghargaan bergengsi Rancage di tahun 2000.

Kenangan Pekak Rida: Menghargai sang Guru

Selain berbicara tentang kegiatan tulis menulis Beliau, kami sempat mengobrol lama tentang masa-masa beliau belajar menulis. Kendati jejak usia yang telah Beliau lewati, semangat yang sangat besar saat bercerita tentang masa-masa belajar membuat saya terharu. Dengan tatapan mata yang tajam dan berbinar, Belai menceritakan tentang guru dan dosen Beliau dengan penuh rasa bakti dan penghargaan setinggi tingginya.

” Saya pernah diajar oleh Dr. Goris, seorang Belanda ahli Sastra Jawa Kuno, Prof Mantra yang pada saat itu belum jadi Prof, serta Dr. I Gusti Ngurah Bagus. Begitu baik dan pintarnya Beliau semua mengajar, saya rasa tidak ada satu gurupun di masa sekarang yang bisa menyamai Beliau semuanya ” Begitu tutur Pekak Rida dalam Bahasa Bali, dengan pandangan penuh semangat yang terus terang saja membuat saya merasa kembali menjadi anak sekolah. Sungguh kerendahan hati yang sangat menggugah saya, Seorang sastrawan Bahasa Bali dengan pencapaian yang sedemikian rupa tidak melupakan guru-gurunya, serta mengenang mereka dengan penuh rasa hormat.

Sastrawan Bahasa Bali I Ketut Rida_Urvasu
Karya Pekak Ketut Rida: Lawar Goak

Kami masih mengobrol beberapa lama, membicarakan cerita yang beliau karang, novel Sunari yang merupakan novel berbahasa Bali pertama yang saya baca, hingga cara menulis Beliau yang mendeskripsikan suatu situasi dengan sangat apiknya. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 18.30. Saya pamitan pada Beliau dan tidak lupa mengucapkan terima kasih. Beliau membekali saya sebuah buku berjudul Lawar Goak, kumpulan cerpen beliau yang diterbitkan tahun 2014. Tidak hanya itu, Beliaupun membubuhkan tanda tangan pada halaman pertama sesuai permintaan saya.

Terima kasih banyak Pekak Rida, atas sumbangsihnya pada sastra Bali dan inspirasi pada kami semua. Semoga sehat selalu dan semangat memberikan inspirasi kepada anak-anak muda.